Terdapatlah sebidang ladang gandum di sebidang tanah subur. Ladang itu dirawat dengan baik oleh tangan kekar seorang petani penuh kejujuran dan kedamaian. Petani yang bersuara lembut berkharisma, bijak dan sederhana. Pokok gandum itu dirawatnya dari kecil. Ia tak henti-hentinya megaliri air keladang itu. Ada rasa haru menusuk bila salah satu batang gandumnya kering karena ia lalai mengalirkan air. Betapa subur ladang gandum itu.
Tak berapa lama ia menanam gandum itu mulai mengeluarkan dan memperlihatkan bulir-bulir kecil dari sela dedaunnya. Pokok itu sebentar lagi akan berbuah. Tergambar diwajahnya betapa gembira sanak keluarga, tetangga, handai taulannya tatkala nanti petani itu memanennya.
2 musim hampir berlalu, ketika seorang sebagai tukang kebun petani itu tergopoh-gopoh datang menghampirinya.
“tuan, hamba melihat diladang gandum tuan tumbuh ilalang disela-sela pokok gandum itu, hamba khawatir bila ilalang itu menganggu gandum tuan, hamba melihat banyak sekali semak itu tumbuh, bukankah benih gandum yang terbaik yang tuan tanam diladang itu?”
“benarkah apa yang engkau katakan itu?” petani itu balik bertanya kepada tukang kebunnya.
“benar tuan! bukankah hamba tidak pernah berkata dusta pada tuan” jawab tukang kebun itu.
“baiklah saudara, mari kita lihat ladang itu” sambil beranjak bersama tukang kebun mereka menuju ladang gandumnya.
Benar adanya, apa yang dikatakan oleh tukang kebun itu, pokok – pokok gandum itu dikelilingi oleh ilalang yang mulai meninggi. Karena terlalu banyak ilalangnya, pokok gandum itu seperti tersiksa.
Ada rasa iba menyeruak dikepala sang petani. Tetapi ia tidak bergeming, nanar ia tatap gandum itu, satu-persatu tangkai demi tangkai ia tatap. Namun ia masih tetap berdiri memandang ladang itu, ia hanya menatapnya saja.
“tuan, ijinkan hamba untuk mencabut ilalang itu! Hamba tahu perasaan tuan melihat pokok-pokok gandum itu, tuan sangat menyayanginya, sangat merawatnya!” kata si tukang kebun memecah keheningan.
“hamba heran tuan, siapakah orang yang berani menebarkan rumput ilalang keladang gandum itu” ujarnya lagi penasaran.
“terimakasih saudaraku, ilalang itu tidak perlu engkau cabut, jangan ada sehelai daun dan setangkai batangpun engkau cabut!. Biarkan gandum itu dikelilingi semak ilalang itu. Ingat saudaraku bahwa gandum itu takkan pernah mati, bahkan dia akan tambah subur dan kekar, bulir-bulirnya semakin berisi dan padat. Ia akan tumbuh menjadi pokok yang tunduk karena ia semakin berisi. biarkan ilalang itu tumbuh. Jika sekarang engkau cabut, tentu engkau akan mendapatkan pokok gandum ikut tercabut, biar nanti aku lihat sendiri mana ilalang dan mana gandum” sang petani menatap si tukang kebun dengan wajah sumringah serta disudut bibirnya terlukiskan senyum.
Tiba saat musim panen, angin gunung berhembus lembut, hujan tak lagi sederas disaat musimnya. Burung pipit bergerombol meneriakkan kegembiraan, kupu-kupu, kumbang, dan beberapa ekor lebah hinggap di jemari lentik kuncup mawar. Alam yang mempesona, ujung pucuk cemara menari meliuk – liuk lembut selaksa berdendang mengikuti siulan dan kecapi melodi dedaunan.
Gandum telah menguning dan tertunduk, bulir-bulirnya bersembunyi dibalik ilalang yang semakin tinggi dari balik kelopak daunnya ilalang itu mengeluarkan bunga-bunga yang tertiup angin seperti kapas yang berterbangan.
Sang petani tersenyum melihat ladangnya, harapan dan perkataannya telah terwujud dengan jelas, ia bersegera menghampiri ladang itu, kemudian mulai ia menebas ilalang dan pokok gandum. Kedua pokok itu kemudian ia ikat dan dipanggulnya dan di bawanya kesuatu lapangan.
Ada sepuluh ikatan pokok gandum dan ilalang yang ia panggul ke tengah-tengah lapangan itu. Petani tak merasa lelah, kemudian satu persatu tali ikatan itu ia buka, dia pisahkan antara pokok gandum dan ilalang. Lama ia memilih, memisahkan antara ilalang dan gandum itu. Akhirnya si petani mendapatkan 7 ikatan ilalang dan 3 ikatan gandum.
Gandum itu dipanggulnya dan dimasukkannya kedalam lumbung.
7 ikatan ilalang dipanggulnya dan ditumpukknya di tengah ladang itu, tak lama berselang asap keluar dari tumpukan ilalang itu karena si petani telah membakarnya.
………….. Jadilah gandum jika engkau tak mau menjadi ilalang, karena menjadi gandum akan lebih terhormat daripada ilalang terbuang dan dibakar ………………….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar